Minggu, 25 Mei 2008




BALI SINDROM :
KERUSAKAN DESTINASI WISATA

Pariwisata merupakan industri yang memerlukan ruang, di samping itu aspek psikologis dan motivasi juga sangat berpengaruh. Pariwisata juga merangsang produksi dan membangun suatu ruang/kolonisasi yang spesifik yang mengakomodasi harapan wisatawan tentang suatu daerah dengan pemandangan alam yang unik dan menyediakan suatu liburan yang konsepnya kembali ke alam yang ideal yang dikelola oleh masyarakat lokal dan Tour Operator secara aktif memperkenalkan kepada wisatawan.
Tetapi kenyataannya perkembangan pariwisata yang begitu cepat menyebabkan kerusakan alam apalagi di dalam perkembangannya tidak disertai dengan tata ruang yang jelas. Pembangunan fasilitas pariwisata tidak terkontrol dan terkesan semberawut, terjadi pemandangan yang tidak menarik lagi sangat bertentangan dengan keinginan wisatawan tentang keberadaan suatu destinasi yang tertata dan asri.
Perkembangan pariwisata menggabungkan dua hal yan saling bertentangan, yaitu di satu pihak ingin mempertahankan aspek lokal tetapi di pihak lain harus mengikuti perkembangan global. Hal inilah yang menyebabkan perkembangannya tanpa perencanaan yang jelas karena tuntutan global yang begitu kuat, sehinga tradisi-tradisi lokal dikesampingkan hanya mengejar keuntungan semata, akibatnya pembangunan pariwisata Bali tanpa arah yang jelas.
Bali sudah kehilangan ke-Bali-annya, karena semua aspek sudah dieksploitasi hanya demi kepentingan pariwisata. Bahkan budaya dan spirit yang bersifat sakralpun sudah dikomersialisasikan hanya demi kepentingan pariwisata. Daerah pantai yang merupakan tempat yang sangat diperlukan oleh masyarakat Bali untuk melaksanakan upacara agama sudah dipenuhi oleh bangunan-bangunan hotel dan fasilitas-fasilitas lainnya yang hanya diperuntukkan untuk pariwisata. Masyarakat Balipun sudah mulai terpinggirkan dan lama-kelamaan mungkin akan menjadi orang asing di daerah sendiri, sehingga Bali merupakan “sorga yang hilang”.
Berawal dari reformasi moral dan mental, kita berharap berbagai aturan dapat dilaksanakan secara konsisten. Selama ini, penyakit yang paling parah menggerogoti pariwisata Bali adalah ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan aturan atau perencanaan yang sudah dibuat. Terlalu banyak “kebijaksanaan” dan “perkecualian” yang diambil oleh pemerintah. Kita tahu dan sepakat, bahwa lahan pertanian yang subur hendaknya jangan dikonversi menjadi peruntukan pariwisata atau kegiatan non pertanian. Kenyataannya, ijin tetap dikeluarkan untuk mengkonversi lahan tersebut menjadi lapangan golf. Kita semua tahu, bahwa tinggi bangunan di Bali maksimal 15 meter atau lantai tiga. Tetapi kitapun tahu, ada hotel yang bertingkat di atas sepuluh, tetapi “dibijaksanai”, ketinggiannya diukur dari atas tebing.
Di samping itu, sungai, danau, dan laut banyak dijadikan tempat pembuangan limbah. Ini tentu sangat menyedihkan dan dalam jangka panjang dapat berakibat fatal terhadap perkembangan pariwisata. Kita tahu, tuntutan dunia luar terhadap produk yang ramah lingkungan (environmentally friendly) semakin ketat. Kesadaran untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan bumi yang lestari (green globe) semakin tinggi. Jangankan untuk produk pariwisata, produk pertanianpun yang dihasilkan dengan cara “:memperkosa” lingkungan tidak akan dibeli. Thailand pernah mengalaminya, hasil tambak udangnya yang mempunyai kualitas sangat bagus tidak laku diekspor karena diketahui bahwa pembudidayaan udang tersebut telah merusak lingkungan.
Untuk pulau kecil seperti Bali, masalah lingkungan ini harus mendapatkan perhatian yang sangat-sangat serius. Pembangunan berbagai fasilitas kepariwisataan pada daerah-daerah yang sensitif harus sangat dibatasi. Apalagi, seperti yang disampaikan pemerhati sekaligus praktisi pariwisata, Dra. Ida Ayu Agung Mas dari Sua Bali, dewasa ini perkembangan fisik pembangunan di pulau Bali sudah menyedihkan. Dari kepeduliannya bertahun-tahun terhadap perkembangan pariwisata, Agung Mas bahkan telah mengajak kita untuk “rethinking tourism”. Memikirkan kembali strategi pembangunan pariwisata kita selama ini. Pujaan dan pujian kita terhadap keberhasilan pembangunan pariwisata Bali mungkin perlu direfleksikan secara jernih, untuk berani mengatakan bahwa ada yang salah selama ini. Diantaranya, kelobaan kita untuk memperkosa lingkungan, termasuk memperkosa daerah aliran sungai, sampai ke ceruk-ceruk lembahnya. Pemerkosaan terhadap lingkungan sungai, bukan saja menyedihkan dari lingkungan fisik, melainkan juga dari aspek budaya. Lembah sungai di Bali sangat banyak menguntai butir-butir peninggalan budaya (situs purbakala), yang mencerminkan peradaban leluhur kita di masa lalu. Sungai, yang dulunya sempat menjadi pusat peradaban leluhur kita, akan tegakah kita obok-obok hanya untuk kepentingan sesaat?
Tanyakan pada orang Bali, apakah mereka mencintai tanaman dengan sepenuh hati? Pasti semuanya menjawab, “Ya, kenapa tidak?” Tanyai mereka, apa buktinya mereka mencintai tumbuh-tumbuhan sepenuh jiwa raga? Mereka dengan gampang menjawab, “Kami punya tradisi Tri Hita Karana, yang menempatkan alam dan manusia sesungguhnya satu, sama-sama ciptaan Tuhan”.
Orang Bali amat bangga dengan tradisi mereka yang memang sangat menghormati alam. Kendati tak banyak yang tahu bagaimana asal usul Tri Hita Karana, namun semua membanggakan falsafah itu. Kepada siapa saja mereka sering berkisah, alam Bali sangat elok, lestari, dikagumi semua wisatawan, karena masyarakatnya punya tradisi menghormati alam. Alam Bali dipuja, tanaman dan hewan menyatu dengan manusia. Fauna punya hari otonan yang disebut tumpek kandang. Bahkan besi punya tumpek landep. Uang pun dihormati punya otonan. Seluruh isi semesta punya hari lahir (otonan). Makrokosmos, semesta raya, merupakan ciptaan Tuhan, seperti juga manusia.
Pokoknya, kalau kita bicara soal tradisi dan falsafah alam dari masyarakat Bali, tak ada satu celah pun untuk mengatakan orang Bali tidak menghormati alam. Tapi jika ada yang bertanya, apakah orang Bali benar-benar menghormati alam dalam tindakan, tentu kita tak bisa segera menjawab, Ya kenapa tidak?” Banyak orang Bali yang menghormati alam hanya sebatas falsafah dan tradisi.
Tetapi, banyak data yang mengungkapkan betapa hutan Bali dalam keadaan sengsara. Namun, pihak kehutanan masih punya program membuat hutan buatan. Sayangnya, di Bali kita hanya punya falsafah menjaga keseimbangan alam, tapi tak punya falsafah yang mengharuskan orang-orang menanam pohon. Tri Hita Karana adalah falsafah menjaga keselarasan alam, tentang pengendalian mengurus alam, bukan falsafah tentang bagaimana semestinya menanam pohon.
Tentu keliru kalau kemudian kita mengkambinghitamkan falsafah luhur itu, jika Bali tak pernah mencapai porsi kawasan hutan ideal. Yang khilaf adalah manusia, yang selalu merasa bangga dengan kata-kata, tetapi miskin tindakan.
Di samping itu, masalah komersialisasi Bali adalah masalah sangat besar dan mendasar. Ia menyangkut bisnis milyaran dollar dalam setahun. Yang terbesar menikmati bisnis ini adalah kaum pedagang, bukan masyarakat Bali umumnya. Sudah sepantasnya orang-orang Bali membuat keseimbangan baru perihal filosofi seni untuk persembahan dan seni komersial. Mendengungkan terus-menerus filosofi seni untuk persembahan sungguh keliru, karena seniman merasa terikat pada sebuah peraturan yang sesungguhnya tak pernah ada. Sudah saatnya masyarakat Bali menghentikan caci-maki kepada seniman yang menjual karyanya dengan harga tinggi. Sering kali kita nelangsa mendengar penari diangkut truk pentas di hotel berbintang, namun pada saat yang sama kita mengkuliahi mereka bahwa berkesenian adalah yadnya, pengorbanan suci.
Semua orang paham, apalagi pelaku turisme, seniman Bali tak akan sanggup jual mahal, karena pada hakekatnya orang Bali bukan masyarakat yang komersial. Namun, kenapa dari hari ke hari selalu saja dunia mencemaskan Bali akan terjerembab ke lumpur komersialisasi? Pada hakekatnya, tanpa disadari, gaya hidup orang Bali telah menyuburkan praktek komersialisasi. Mereka tak pernah mengusir wisatawan, yang untuk itu membayar pada biro perjalanan, untuk menonton upacara adat. Mereka bahkan sangat senang kalau ditonton turis, karena menganggap itu sebuah bentuk, kekaguman. Mereka bisa terkenal ke seluruh dunia, karena foto-foto mereka dipajang di banyak majalah, atau dijadikan kartu pos bergambar.
Yang bersalah dalam komersialisasi Bali sesungguhnya adalah masyarakat Bali sendiri. Orang-orang Bali dengan sadar membiarkan, dan memberi peluang, praktek-praktek komersialisasi itu berlangsung setiap hari di depan mata.

Pariwisata Global

I. PENDAHULUAN

Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Sebagai fenomena modern, tonggal-tonggak bersejarah dalam pariwisata dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo (1254-1324) yang menjelajahi Eropa, sampai ke Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia, yang kemudian disusul perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), Cristopher Colombus (1451-1506), dan Vasco da Gama (akhir abad XV). Namun, sebagai kegiatan ekonomi, pariwisata baru berkembang pada awal Abad 19 dan sebagai industri internasional pariwisata dimulai tahun 1869 (Crick, 1989; Graburn dan Jafari, 1991).

Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona “eksport”, karena beberapa ciri positifnya. Dalam suasana di mana terjadi kelesuan perdagangan komuditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan trend-nya yang meningkat secara terus-menerus. Data perkembangan pariwisata dunia menunjukkan bahwa pada saat terjadinya krisis minyak tahun 1970-an, maupun pada saat terjadinya resesi dunia awal tahun 1980-an, pariwisata dunia tetap melaju, baik dilihat dari jumlah wisatawan internasional maupun penerimaan devisa dari sektor pariwisata ini.

Bagi Indonesia, jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali kepada dasawarsa awal Abad 20 (tepatnya 1910), yang ditandai dengan dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda, berkedudukan di Batavia. Badan pemerintah ini sekaligus juga bertindak sebagai tour operator dan travel agent, yang secara gencar mempromosikan Indonesia (khususnya Jawa, kemudian Bali). Pada tahun 1926 berdiri pula di Jakarta sebuah cabang dari Lislind (Lissonne Lindeman) yang pada 1928 berubah menjadi Nitour (Nederlandsche Indische Touriten Bureau), sebagai anak perusahaan dari perusahaan pelayaran Belanda (KPM). KPM secara rutin melayani pelayaran yang menghubungkan Batavia, Surabaya, Bali, dan Makasar, dengan mengangkut wisatawan (Spillane, 1989; Vickers, 1989).

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 pemerintah segera membentuk Honet (Hotel National and Tourism), sebuah badan yang diberikan tugas untuk menghidupkan kembali pariwisata, khususnya menangani perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 1955 berdiri Natour dan YTI (Yayasan Tourisme Indonesia). Dengan usaha yang keras, badan-badan ini berhasil mengangkat pariwisata Indonesia, sehingga sempat terjadi “demam pariwisata” beberapa tahun lamanya. Kongres I YTI, 12-14 Januari 1957 (disebut pula Munas Tourisme I) melahirkan Dewan Tourisme Indonesia (DTI). Istilah “pariwisata” sendiri lahir belakangan, yaitu pada waktu Munas Tourisme II di Tretes, Jatim 12-14 Juni 1958, di mana “pariwisata” diartikan sebagai international tourism, sedangkan untuk domestic tourism dipopulerkan istilah dharma wisata.

Perpindahan orang untuk sementara ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, serta aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya adalah bagian dari pariwisata.

Wisata menurut UU No. 9/1990 tentang kepariwisataan didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara, serta perjalanan itu sebagian atau seluruhnya bertujuan untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan pariwisata segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Seringkali, pariwisata hanya dilihat dalam bingkai ekonomi, padahal ia merupakan rangkaian dari kekuatan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya yang bersifat global. Memang, pariwisata harus bisa dijual. Namun, pariwisata dapat juga memberikan manfaat dan menyumbang, antara lain kepada :

1. Pelestarian budaya dan adat istiadat,

2. Peningkatan kecerdasan masyarakat,

3. Peningkatan kesehatan dan kesegaran,

4. Terjaganya sumber daya alam dan lingkungan lestari,

5. Terpeliharanya peninggalan kuno dan warisan masa lalu, dan lain-lain.

Harus diakui pula, kadang kala kegiatan pariwisata membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya. Tetapi dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep baik dan tertata rapi, dampak “menjual” itu pun dapat diminimalisasi. Konkretnya, pariwisata tidak akan menjual hutan, melainkan keindahan hutannya. Ia tidak akan menjual binatang langka, tetapi ia akan menjual kelangkaan binatang itu, dan seterusnya.

II. PEMBAHASAN

Organisasi Internasional

Organisasi Pariwisata Internasional bermarkas di Spanyol. Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) dikenal sebagai organisasi pariwisata yang paling penting di dunia. Di antara banyak tugasnya, organisasi ini berfungsi sebagai konsultan bagi PBB. WTO mempromosikan pariwisata di seluruh dunia, khususnya pada negara-negara yang sedang membangun. WTO mengumpulkan informasi dan bahan-bahan yang dipublikasikan yang berhubungan dengan pola pariwisata dunia mutakhir, melakukan pendekatan pemasaran, dan juga pada kegiatan-kegiatan melindungi budaya dan sumber alam yang ada. Badan ini juga menyelenggarakan program pelatihan dan pendidikan. WTO juga berusaha memudahkan perjalanan internasional dengan berbagai cara : dengan mengurangi jumlah paspor dan visa yang dibutuhkan oleh negara-negara tertentu dan dengan menstandarkan tanda-tanda yang dipergunakan dalam kancah pariwisata internasional.

Sejumlah organisasi internasional menunjukkan keinginannya untuk membiayai pariwisata. Bank Dunia, di Washington, D.C., merupakan pendukung pembangunan pariwisata di negara-negara yang sedang membangun. Akan tetapi, sekarang ini jumlah dana yang dikucurkan untuk pembangunan pariwisata berkurang banyak.

Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) yang beranggotakan Australia, Belgia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Turki, Inggris, dan AS, dibentk pada tahun 1960 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara anggota.

Lewat komite pariwisatanya, OECD mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pariwisata dan membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota. Sebagai tambahan publikasi dan laporan tahunan di bidang pariwisata, organisasi ini juga mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan statistik pariwisata dan mendorong penggunaan definisi-definisi yang standar.

Perkembangan Pariwisata Dunia

Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Negara-negara dan teritori, seperti Thailand, Singapore, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Tonga, Galapagos, Barbados, Kepulauan Karibia, dan sebagainya, sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Bagi negara-negara di Kepulauan Karibia, pariwisata merupakan penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan negara. Di daerah Kepulauan Karibia, pariwisata telah menciptakan 2,5 juta kesempatan kerja atau sekitar 25% dari total kesempatan kerja pada tahun 2001 (Monsen, 2004). Pariwisata menyumbang US$ 9,2 milyard, atau 5,8% dari total GDP. Tahun 2011 pariwisata diprediksi akan menghasilkan penerimaan sekitar 18,7 milyard (Duval, 2004). Bagi Anguila, 83% dari total GDP-nya pada tahun 2003 berasal dari pengeluaran wisatawan, bagi Bahama, pengeluaran wisatawan merupakan 44% dari total GDP 2003, dan angka ini adalah 33% untuk Barbados, sementara GDP St. Lucia 64% berasal dari pengeluaran wisatawan (Duval, 2004). Bagi Fiji, sebuah negara pulau yang ada di Samudra Pasifik , pariwisata telah menjadi penghasil devisa kedua, hanya sedikit di bawah hasil utamanya, yaitu gula dan hasil pertanian lain. Pendapatan dari pariwisata pada tahun 1991 mencapai sekitar 35% dari total nilai ekspor negara ini. Bagi Tonga (juga di Samudra Pasifik), pariwisata menyumbang 70% dari total nilai ekspornya (Smith, 1996 : 43). Dengan pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, pariwisata sering disebut sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional development, invisible export, non-poluting industry, dan sebagainya (Pitana, 2002a).

Jumlah wisatawan internasional senantiasa meningkat secara berlanjut, sebagaimana dapat dilihat dari gambaran statistik sejak tahun 1950. Demikian juga nilai devisa yang dihasilkan. Data menunjukkan bahwa jumlah wisatawan internasional meningkat dari sekitar 25 juta orang pada tahun 1950, menjadi 476 juta pada 1992, dan pada tahun 2000 angka ini mencapai 698,8 juta orang. Jumlah wisatawan internasional selalu mengalami peningkatan sampai penghujung milenium , dengan peningkatan tertinggi terjadi tahun 2000 (9,7%). Meskipun memasuki milenium ketiga dunia diguncang berbagai bencana, seperti Tragedi WTC atau 9/11 tragedy di Amerika Serikat. (11 September 2001), Tragedi Kuta (Bom Bali, 12 Oktober 2002), merebaknya wabah SARS (Maret-Juni 2003), Perang Amerika-Irak (mulai April 2003), dan wabah flu burung (November 2003a), tingkat penurunan jumlah kunjungan tidak terlalu besar, yaitu hanya –0,5% tahun 2001, kemudian naik 2,7% tahun 2002, dan turun lagi –1,2% tahun 2003, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari segi absolut, jumlah wisatawan internasional, masih cukup tinggi, yaitu mencapai 694 juta orang tahun 2003, dengan penerimaan 514,4 milyard dollar Amerika, atau menurun 2,2% dibandingkan tahun 2002 (WTO, 2004). Untuk tahun 2004, WTO melihat adanya perkembangan positif. Meskipun menyadari masih adanya ketidakpastian menyangkut aktivitas terorisme, dalam World Tourism Barometer 2004, WTO menyebutkan :

As the economic framework improves, companies are relaxing their once tight travel budgets and business tourism is finally showing signs recovery….Convidence returned among travellers and the industry and tourism sector is heading for a robust rebound in 2004….” (WTO, 2004 : 4 ).

Optimisme ini didukung oleh menguatnya indikator pertumbuhan ekonomi. Mengutip laporan International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 4,6% tahun 2004 dan 4,4% tahun 2005, yang berada di atas angka pertumbuhan beberapa tahun terakhir (2,4% tahun 2001, 3,0% tahun 2002, dan 3,9% tahun 2003). Hal ini dikuatkan lagi dengan pulihnya ekonomi Amerika Serikat, Jepang, dan Cina.

Jumlah penerimaan pariwisata tahun 1950 diperkirakan hanya 2,1 M dolar AS, sedangkan pada tahun 1990 angka ini sudah mencapai 268,2 M dolar AS, dan pada tahun 2000 mencapai angka 475,8 M dolar AS. Pada tahun 1995, pariwisata menyumbangkan 10,9% dari pendapatan (GDP) dunia. Pada tahun 2001, industri pariwisata menciptakan GDP sebesar 3,3 triliun dolar AS, hampir 11% dari total GDP dunia. (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, pariwisata menghasilkan penerimaan mencapai 7,2 triliun dolar AS, atau 11,4% dari GDP dunia (WTTC, 1995; dalam Wahab, 1999). WTO memprediksi bahwa pariwisata akan terus mengalami perkembangan, dengan rata-rata pertumbuhan jumlah wisatawan internasional sekitar 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Sementara itu, wisatawan domestik diperkirakan mencapai jumlah sepuluh kali lipat dibandingkan wisatawan internasional, yang juga besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerah tujuan wisata.

Dari segi penyerapan tenaga kerja, WTO melukiskan bahwa satu dari delapan pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung, langsung ataupun tidak langsung, dari pariwisata. Pada tahun 1995, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja secara langsung untuk 211 juta orang. Pada tahun 2001, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja bagi 207 juta orang, atau lebih dari 8% kesempatan kerja di seluruh dunia (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, diperkirakan pariwisata akan menciptakan lapangan kerja bagi 305 juta orang. Kalau mesin penggerak dalam penciptaan tenaga kerja pada Abad 19 adalah pertanian, dan pada Abad 20 adalah industri manufaktur, maka pada Abad 21, mesin penggerak tersebut adalah pariwisata (Dawid J. de Villiers, 1999; Salah Wahab, 1999). Pada tahun 2001, pariwisata menciptakan investasi sebesar 630 milyard dolar AS, atau sekitar 9% dari seluruh investasi dunia (UNEP, 2002).

Bagi Indonesia, peranan pariwisata semakin terasa, terutama setelah melemahnya peranan minyak dan gas, walaupun nilai nominalnya dalam dolar sedikit mengalami fluktuasi. Kunjungan wisatawan mancanegara menunjukkan trend naik dalam beberapa dasawarsa. Tahun 1969, Indonesia hanya dikunjungi oleh 86.067 wisman, kemudian meningkat menjadi 2.051.686 tahun 1990, dan 5.064.217 tahun 2000. Sejak tahun 1969 jumlah kunjungan wisman hanya mengalami pertumbuhan negatif sebanyak empat kali, yaitu tahun 1982, 1998, 1999, dan 2001. Kedatangan wisman tersebut telah memberikan penerimaan devisa yang sangat besar kepada Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dolar AS (Santosa, 2001).

Peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi sudah jelas dari angka-angka statistik yang dikemukan di atas. Tetapi pariwisata bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah sosial, budaya, politik, dan seterusnya. Pariwisata adalah suatu sistem yang multikompleks, dengan berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi antar sesama. Sebagai suatu aktivitas yang begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, pariwisata telah banyak menarik minat akademisi dari berbagai disiplin ilmu untuk mengkajinya. Jovicic (1977) bahkan mengusulkan agar kajian tentang pariwisata dikembangkan sebagai suatu disiplin tersendiri, yang disebut Tourismology. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa pariwisata sebagai suatu fenomena yang kompleks tidak dapat dipahami secara komprehensif dengan menggunakan berbagai perspektif disiplin keilmuan yang ada sekarang. Pengembangan Tourismology akan memberikan peluang yang lebih baik untuk mengkaji berbagai masalah kepariwisataan sebagai suatu composite phenomena. Leiper (1995) juga mendukung pengembangan pariwisata sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri dengan menyebut tourismology ini sebagai tourism discipline.

III. KESIMPULAN

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona “eksport”, karena beberapa ciri positifnya. Dalam suasana di mana terjadi kelesuan perdagangan komuditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan trend-nya yang meningkat secara terus-menerus.

Sejumlah organisasi internasional menunjukkan keinginannya untuk membiayai pariwisata, seperti Bank Dunia, di Washington, D.C., merupakan pendukung pembangunan pariwisata di negara-negara yang sedang membangun dan organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD), yang lewat komite pariwisatanya, OECD mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pariwisata dan membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota. Sebagai tambahan publikasi dan laporan tahunan di bidang pariwisata, organisasi ini juga mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan statistik pariwisata dan mendorong penggunaan definisi-definisi yang standar.


DAFTAR PUSTAKA

Ardika, Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan (Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global). Unud–Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata.

Geria, I Wayan. 1989. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, dan Global. Denpasar : Upada Sastra.

Mill, Christie. 1990. Tourism The International Business (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Paeni, Mukhlis, dkk. 2006. Bali Bangkit Bali Kembali. Unud–Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Pitana, I Gede, dkk. 2000. Daya Dukung Bali Dalam Pariwisata (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya), Unud–Bappeda Propinsi Bali, Denpasar.

Pitana, I Gede. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi Offset.

Yoeti, Oka. 1989. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita.

Sabtu, 24 Mei 2008

Pariwisata Global

I. PENDAHULUAN

Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Sebagai fenomena modern, tonggal-tonggak bersejarah dalam pariwisata dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo (1254-1324) yang menjelajahi Eropa, sampai ke Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia, yang kemudian disusul perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), Cristopher Colombus (1451-1506), dan Vasco da Gama (akhir abad XV). Namun, sebagai kegiatan ekonomi, pariwisata baru berkembang pada awal Abad 19 dan sebagai industri internasional pariwisata dimulai tahun 1869 (Crick, 1989; Graburn dan Jafari, 1991).

Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona “eksport”, karena beberapa ciri positifnya. Dalam suasana di mana terjadi kelesuan perdagangan komuditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan trend-nya yang meningkat secara terus-menerus. Data perkembangan pariwisata dunia menunjukkan bahwa pada saat terjadinya krisis minyak tahun 1970-an, maupun pada saat terjadinya resesi dunia awal tahun 1980-an, pariwisata dunia tetap melaju, baik dilihat dari jumlah wisatawan internasional maupun penerimaan devisa dari sektor pariwisata ini.

Bagi Indonesia, jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali kepada dasawarsa awal Abad 20 (tepatnya 1910), yang ditandai dengan dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda, berkedudukan di Batavia. Badan pemerintah ini sekaligus juga bertindak sebagai tour operator dan travel agent, yang secara gencar mempromosikan Indonesia (khususnya Jawa, kemudian Bali). Pada tahun 1926 berdiri pula di Jakarta sebuah cabang dari Lislind (Lissonne Lindeman) yang pada 1928 berubah menjadi Nitour (Nederlandsche Indische Touriten Bureau), sebagai anak perusahaan dari perusahaan pelayaran Belanda (KPM). KPM secara rutin melayani pelayaran yang menghubungkan Batavia, Surabaya, Bali, dan Makasar, dengan mengangkut wisatawan (Spillane, 1989; Vickers, 1989).

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 pemerintah segera membentuk Honet (Hotel National and Tourism), sebuah badan yang diberikan tugas untuk menghidupkan kembali pariwisata, khususnya menangani perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 1955 berdiri Natour dan YTI (Yayasan Tourisme Indonesia). Dengan usaha yang keras, badan-badan ini berhasil mengangkat pariwisata Indonesia, sehingga sempat terjadi “demam pariwisata” beberapa tahun lamanya. Kongres I YTI, 12-14 Januari 1957 (disebut pula Munas Tourisme I) melahirkan Dewan Tourisme Indonesia (DTI). Istilah “pariwisata” sendiri lahir belakangan, yaitu pada waktu Munas Tourisme II di Tretes, Jatim 12-14 Juni 1958, di mana “pariwisata” diartikan sebagai international tourism, sedangkan untuk domestic tourism dipopulerkan istilah dharma wisata.

Perpindahan orang untuk sementara ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, serta aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya adalah bagian dari pariwisata.

Wisata menurut UU No. 9/1990 tentang kepariwisataan didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara, serta perjalanan itu sebagian atau seluruhnya bertujuan untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan pariwisata segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Seringkali, pariwisata hanya dilihat dalam bingkai ekonomi, padahal ia merupakan rangkaian dari kekuatan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya yang bersifat global. Memang, pariwisata harus bisa dijual. Namun, pariwisata dapat juga memberikan manfaat dan menyumbang, antara lain kepada :

1. Pelestarian budaya dan adat istiadat,

2. Peningkatan kecerdasan masyarakat,

3. Peningkatan kesehatan dan kesegaran,

4. Terjaganya sumber daya alam dan lingkungan lestari,

5. Terpeliharanya peninggalan kuno dan warisan masa lalu, dan lain-lain.

Harus diakui pula, kadang kala kegiatan pariwisata membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya. Tetapi dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep baik dan tertata rapi, dampak “menjual” itu pun dapat diminimalisasi. Konkretnya, pariwisata tidak akan menjual hutan, melainkan keindahan hutannya. Ia tidak akan menjual binatang langka, tetapi ia akan menjual kelangkaan binatang itu, dan seterusnya.

II. PEMBAHASAN

Organisasi Internasional

Organisasi Pariwisata Internasional bermarkas di Spanyol. Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) dikenal sebagai organisasi pariwisata yang paling penting di dunia. Di antara banyak tugasnya, organisasi ini berfungsi sebagai konsultan bagi PBB. WTO mempromosikan pariwisata di seluruh dunia, khususnya pada negara-negara yang sedang membangun. WTO mengumpulkan informasi dan bahan-bahan yang dipublikasikan yang berhubungan dengan pola pariwisata dunia mutakhir, melakukan pendekatan pemasaran, dan juga pada kegiatan-kegiatan melindungi budaya dan sumber alam yang ada. Badan ini juga menyelenggarakan program pelatihan dan pendidikan. WTO juga berusaha memudahkan perjalanan internasional dengan berbagai cara : dengan mengurangi jumlah paspor dan visa yang dibutuhkan oleh negara-negara tertentu dan dengan menstandarkan tanda-tanda yang dipergunakan dalam kancah pariwisata internasional.

Sejumlah organisasi internasional menunjukkan keinginannya untuk membiayai pariwisata. Bank Dunia, di Washington, D.C., merupakan pendukung pembangunan pariwisata di negara-negara yang sedang membangun. Akan tetapi, sekarang ini jumlah dana yang dikucurkan untuk pembangunan pariwisata berkurang banyak.

Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) yang beranggotakan Australia, Belgia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Turki, Inggris, dan AS, dibentk pada tahun 1960 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara anggota.

Lewat komite pariwisatanya, OECD mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pariwisata dan membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota. Sebagai tambahan publikasi dan laporan tahunan di bidang pariwisata, organisasi ini juga mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan statistik pariwisata dan mendorong penggunaan definisi-definisi yang standar.

Perkembangan Pariwisata Dunia

Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Negara-negara dan teritori, seperti Thailand, Singapore, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Tonga, Galapagos, Barbados, Kepulauan Karibia, dan sebagainya, sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Bagi negara-negara di Kepulauan Karibia, pariwisata merupakan penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan negara. Di daerah Kepulauan Karibia, pariwisata telah menciptakan 2,5 juta kesempatan kerja atau sekitar 25% dari total kesempatan kerja pada tahun 2001 (Monsen, 2004). Pariwisata menyumbang US$ 9,2 milyard, atau 5,8% dari total GDP. Tahun 2011 pariwisata diprediksi akan menghasilkan penerimaan sekitar 18,7 milyard (Duval, 2004). Bagi Anguila, 83% dari total GDP-nya pada tahun 2003 berasal dari pengeluaran wisatawan, bagi Bahama, pengeluaran wisatawan merupakan 44% dari total GDP 2003, dan angka ini adalah 33% untuk Barbados, sementara GDP St. Lucia 64% berasal dari pengeluaran wisatawan (Duval, 2004). Bagi Fiji, sebuah negara pulau yang ada di Samudra Pasifik , pariwisata telah menjadi penghasil devisa kedua, hanya sedikit di bawah hasil utamanya, yaitu gula dan hasil pertanian lain. Pendapatan dari pariwisata pada tahun 1991 mencapai sekitar 35% dari total nilai ekspor negara ini. Bagi Tonga (juga di Samudra Pasifik), pariwisata menyumbang 70% dari total nilai ekspornya (Smith, 1996 : 43). Dengan pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, pariwisata sering disebut sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional development, invisible export, non-poluting industry, dan sebagainya (Pitana, 2002a).

Jumlah wisatawan internasional senantiasa meningkat secara berlanjut, sebagaimana dapat dilihat dari gambaran statistik sejak tahun 1950. Demikian juga nilai devisa yang dihasilkan. Data menunjukkan bahwa jumlah wisatawan internasional meningkat dari sekitar 25 juta orang pada tahun 1950, menjadi 476 juta pada 1992, dan pada tahun 2000 angka ini mencapai 698,8 juta orang. Jumlah wisatawan internasional selalu mengalami peningkatan sampai penghujung milenium , dengan peningkatan tertinggi terjadi tahun 2000 (9,7%). Meskipun memasuki milenium ketiga dunia diguncang berbagai bencana, seperti Tragedi WTC atau 9/11 tragedy di Amerika Serikat. (11 September 2001), Tragedi Kuta (Bom Bali, 12 Oktober 2002), merebaknya wabah SARS (Maret-Juni 2003), Perang Amerika-Irak (mulai April 2003), dan wabah flu burung (November 2003a), tingkat penurunan jumlah kunjungan tidak terlalu besar, yaitu hanya –0,5% tahun 2001, kemudian naik 2,7% tahun 2002, dan turun lagi –1,2% tahun 2003, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari segi absolut, jumlah wisatawan internasional, masih cukup tinggi, yaitu mencapai 694 juta orang tahun 2003, dengan penerimaan 514,4 milyard dollar Amerika, atau menurun 2,2% dibandingkan tahun 2002 (WTO, 2004). Untuk tahun 2004, WTO melihat adanya perkembangan positif. Meskipun menyadari masih adanya ketidakpastian menyangkut aktivitas terorisme, dalam World Tourism Barometer 2004, WTO menyebutkan :

As the economic framework improves, companies are relaxing their once tight travel budgets and business tourism is finally showing signs recovery….Convidence returned among travellers and the industry and tourism sector is heading for a robust rebound in 2004….” (WTO, 2004 : 4 ).

Optimisme ini didukung oleh menguatnya indikator pertumbuhan ekonomi. Mengutip laporan International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 4,6% tahun 2004 dan 4,4% tahun 2005, yang berada di atas angka pertumbuhan beberapa tahun terakhir (2,4% tahun 2001, 3,0% tahun 2002, dan 3,9% tahun 2003). Hal ini dikuatkan lagi dengan pulihnya ekonomi Amerika Serikat, Jepang, dan Cina.

Jumlah penerimaan pariwisata tahun 1950 diperkirakan hanya 2,1 M dolar AS, sedangkan pada tahun 1990 angka ini sudah mencapai 268,2 M dolar AS, dan pada tahun 2000 mencapai angka 475,8 M dolar AS. Pada tahun 1995, pariwisata menyumbangkan 10,9% dari pendapatan (GDP) dunia. Pada tahun 2001, industri pariwisata menciptakan GDP sebesar 3,3 triliun dolar AS, hampir 11% dari total GDP dunia. (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, pariwisata menghasilkan penerimaan mencapai 7,2 triliun dolar AS, atau 11,4% dari GDP dunia (WTTC, 1995; dalam Wahab, 1999). WTO memprediksi bahwa pariwisata akan terus mengalami perkembangan, dengan rata-rata pertumbuhan jumlah wisatawan internasional sekitar 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Sementara itu, wisatawan domestik diperkirakan mencapai jumlah sepuluh kali lipat dibandingkan wisatawan internasional, yang juga besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerah tujuan wisata.

Dari segi penyerapan tenaga kerja, WTO melukiskan bahwa satu dari delapan pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung, langsung ataupun tidak langsung, dari pariwisata. Pada tahun 1995, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja secara langsung untuk 211 juta orang. Pada tahun 2001, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja bagi 207 juta orang, atau lebih dari 8% kesempatan kerja di seluruh dunia (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, diperkirakan pariwisata akan menciptakan lapangan kerja bagi 305 juta orang. Kalau mesin penggerak dalam penciptaan tenaga kerja pada Abad 19 adalah pertanian, dan pada Abad 20 adalah industri manufaktur, maka pada Abad 21, mesin penggerak tersebut adalah pariwisata (Dawid J. de Villiers, 1999; Salah Wahab, 1999). Pada tahun 2001, pariwisata menciptakan investasi sebesar 630 milyard dolar AS, atau sekitar 9% dari seluruh investasi dunia (UNEP, 2002).

Bagi Indonesia, peranan pariwisata semakin terasa, terutama setelah melemahnya peranan minyak dan gas, walaupun nilai nominalnya dalam dolar sedikit mengalami fluktuasi. Kunjungan wisatawan mancanegara menunjukkan trend naik dalam beberapa dasawarsa. Tahun 1969, Indonesia hanya dikunjungi oleh 86.067 wisman, kemudian meningkat menjadi 2.051.686 tahun 1990, dan 5.064.217 tahun 2000. Sejak tahun 1969 jumlah kunjungan wisman hanya mengalami pertumbuhan negatif sebanyak empat kali, yaitu tahun 1982, 1998, 1999, dan 2001. Kedatangan wisman tersebut telah memberikan penerimaan devisa yang sangat besar kepada Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dolar AS (Santosa, 2001).

Peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi sudah jelas dari angka-angka statistik yang dikemukan di atas. Tetapi pariwisata bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah sosial, budaya, politik, dan seterusnya. Pariwisata adalah suatu sistem yang multikompleks, dengan berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi antar sesama. Sebagai suatu aktivitas yang begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, pariwisata telah banyak menarik minat akademisi dari berbagai disiplin ilmu untuk mengkajinya. Jovicic (1977) bahkan mengusulkan agar kajian tentang pariwisata dikembangkan sebagai suatu disiplin tersendiri, yang disebut Tourismology. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa pariwisata sebagai suatu fenomena yang kompleks tidak dapat dipahami secara komprehensif dengan menggunakan berbagai perspektif disiplin keilmuan yang ada sekarang. Pengembangan Tourismology akan memberikan peluang yang lebih baik untuk mengkaji berbagai masalah kepariwisataan sebagai suatu composite phenomena. Leiper (1995) juga mendukung pengembangan pariwisata sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri dengan menyebut tourismology ini sebagai tourism discipline.

III. KESIMPULAN

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona “eksport”, karena beberapa ciri positifnya. Dalam suasana di mana terjadi kelesuan perdagangan komuditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan trend-nya yang meningkat secara terus-menerus.

Sejumlah organisasi internasional menunjukkan keinginannya untuk membiayai pariwisata, seperti Bank Dunia, di Washington, D.C., merupakan pendukung pembangunan pariwisata di negara-negara yang sedang membangun dan organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD), yang lewat komite pariwisatanya, OECD mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pariwisata dan membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota. Sebagai tambahan publikasi dan laporan tahunan di bidang pariwisata, organisasi ini juga mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan statistik pariwisata dan mendorong penggunaan definisi-definisi yang standar.


Senin, 12 Mei 2008

PURA BATUR SARI

PURA BATUR SARI

Desa Pakraman Pumahan secara administratif termasuk wilayah Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Wilayah ini termasuk berada di daerah pegunungan, sehingga udaranya masih terasa sejuk bahkan di hari – hari tertentu udaranya sangat dingin. Curah hujan turun sangat tinggi, sehingga di wilayah ini sangat cocok untuk daerah pertanian. Memang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Dari kota kecamatan untuk sampai di Dusun Pumahan hanya membutuhkan waktu + 15 menit berkendaraan dan jarak tempuh + 3,5 km, dari kota kabupaten hanya dibutuhkan waktu + 45 menit dan jarak tempuh + 19 km.

Kondisi alam yang sejuk dan masih sangat alami serta lokasi yang jauh dari keramaian, sangat berpengaruh terhadap kehidupan spiritual penduduk di wilayah tersebut. Mereka masih sangat mempercayai dan sangat memelihara serta sangat mensakralkan tempat – tempat suci yang ada di wilayah tersebut. Salah satunya adalah Pura Batur Sari.

Pura Batur Sari merupakan Cagar Budaya yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1992. Palinggih Utama Pura Batur Sari secara fisik masih terbuat dari batu – batu dan sangat alami. Diperkirakan Pura Batur Sari merupakan Payogan Ida Maharsi Markandya yang menganut Paham Siwa. Beliau di dalam melakukan Agni Hotra dilakukan di pura ini. Kesakralan dari Pura Batur Sari ini sangat kuat terasa karena lokasi dari pura ini sangat jauh dari keramaian dan dijaga secara niskala. Bagi Umat Hindu sangat perlu untuk sembahyang di pura ini memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena Pura Batur Sari termasuk Kahyangan Jagat. Pura Batur Sari ini masih ada hubungannya dengan pura yang ada di Jatiluwih karena Ida Maharsi Markandya dari pura ini melanjutkan perjalanan menuju Jatiluwih. Pura ini diempon oleh penduduk Desa Pakraman Pumahan yang berjumlah 64 KK. Pujawali di Pura Batur Sari bertepatan dengan Purnama Sasih Kalima.

Dari penuturan Kelian Pura sekaligus Kelian Adat Desa Pakraman Pumahan ( I Nyoman Restika ) bahwa Palinggih Pura Batur Sari dari sejak pertama ditemukan + Abad VI secara fisik terbuat dari batu dan tidak boleh diperbaiki atau diperbaharui, karena tidak diperbolehkan secara niskala. Banyak Umat Hindu yang memberikan Dana – Punia bertujuan untuk memperbaiki atau memperbaharui Pura Batur Sari ini namun tidak dapat terlaksana yang disebabkan oleh hal – hal di luar nalar / akal sehat manusia. Bahkan pelataran pura pun masih tetap ditumbuhi oleh rerumputan dan tidak boleh diganti dengan semen / beton, sehingga keaslian pura pun masih sangat terasa. Hal ini juga didukung oleh arahan dari Dinas Purbakala Propinsi Bali agar tetap mempertahankan keberadaan Pura Batur Sari seperti baru pertama kali diketemukan.

Banyak penekun spiritual datang ke Pura Batur Sari untuk tujuan yang berbeda karena diperkirakan di Pura Batur Sari ini terpendam Harta Karun yang sangat utama secara niskala. Sang Sulinggih juga datang ke Pura Batur Sari untuk melakukan pemujaan mohon keselamatan jagat.

Pada Tanggal 18 Juni 2006 Ida Pandita Empu Nabe Parama Yogi Swara dari Griya Gede Manik Mas, Grokgak Gede – Tabanan dan Ida Pandita Empu Nabe Sadi Angga Yoga dari Griya Sading, Kukuh, Kerambitan – Tabanan beserta Pasraman Widya Shanta Dharma, Grokgak Gede Tabanan datang ke Pura Batur Sari dengan tujuan melakukan persembahyangan memuja kebesaran Beliau dan melakukan meditasi ( konsentrasi ) untuk menyatukan Sabda, Bayu, Idep, sehingga diperoleh petunjuk tentang keberadaan Pura Batur Sari tersebut. Dari hasil penelusuran secara niskala yang dilakukan oleh Ida Pandita Empu Nabe Parama Yogi Swara tersebut – lah didapatkan petunjuk bahwa Pura Batur Sari merupakan Kahyangan Jagat bukan pura penyungsungan kelompok / golongan, Payogan dari Ida Maharsi Markandya yang menganut Paham Siwa. Ida Maharsi Markandya juga menanam Panca Datu di Pura Batur Sari ini, sehingga di sekitar wilayah pura sangat sakral dan utama. Bagi penduduk di sekitar Pura Batur Sari agar senantiasa menjaga kesucian dan kesakralan pura tersebut, sehingga kedamaian dan ketenteraman akan dapat dicapai, hasil – hasil pertanian akan baik karena keutamaan aura dari Pura Batur Sari. Tatkala ada upacara / upakara besar di Desa Pakraman Pumahan patut memohon Tirta Pamuput di Pura Batur Sari.

Demikian sekilas tentang keberadaan Pura Batur Sari yang merupakan tempat suci Umat Hindu dan aset bangsa karena merupakan Cagar Budaya. Hendaknya kita peduli dan tetap menjaga salah satu tempat suci yang sangat sakral dan utama, sehingga alam Bali khususnya tetap dilindungi oleh Beliau dan Bangsa Indonesia pada umumnya. Di Jaman Kaliyuga ini keberadaan tempat suci sangat dibutuhkan oleh umat untuk senantiasa dapat menemukan keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki. Kepedulian kita semua sangat diharapkan demi kelangsungan dari Pura Batur Sari.