Minggu, 25 Mei 2008




BALI SINDROM :
KERUSAKAN DESTINASI WISATA

Pariwisata merupakan industri yang memerlukan ruang, di samping itu aspek psikologis dan motivasi juga sangat berpengaruh. Pariwisata juga merangsang produksi dan membangun suatu ruang/kolonisasi yang spesifik yang mengakomodasi harapan wisatawan tentang suatu daerah dengan pemandangan alam yang unik dan menyediakan suatu liburan yang konsepnya kembali ke alam yang ideal yang dikelola oleh masyarakat lokal dan Tour Operator secara aktif memperkenalkan kepada wisatawan.
Tetapi kenyataannya perkembangan pariwisata yang begitu cepat menyebabkan kerusakan alam apalagi di dalam perkembangannya tidak disertai dengan tata ruang yang jelas. Pembangunan fasilitas pariwisata tidak terkontrol dan terkesan semberawut, terjadi pemandangan yang tidak menarik lagi sangat bertentangan dengan keinginan wisatawan tentang keberadaan suatu destinasi yang tertata dan asri.
Perkembangan pariwisata menggabungkan dua hal yan saling bertentangan, yaitu di satu pihak ingin mempertahankan aspek lokal tetapi di pihak lain harus mengikuti perkembangan global. Hal inilah yang menyebabkan perkembangannya tanpa perencanaan yang jelas karena tuntutan global yang begitu kuat, sehinga tradisi-tradisi lokal dikesampingkan hanya mengejar keuntungan semata, akibatnya pembangunan pariwisata Bali tanpa arah yang jelas.
Bali sudah kehilangan ke-Bali-annya, karena semua aspek sudah dieksploitasi hanya demi kepentingan pariwisata. Bahkan budaya dan spirit yang bersifat sakralpun sudah dikomersialisasikan hanya demi kepentingan pariwisata. Daerah pantai yang merupakan tempat yang sangat diperlukan oleh masyarakat Bali untuk melaksanakan upacara agama sudah dipenuhi oleh bangunan-bangunan hotel dan fasilitas-fasilitas lainnya yang hanya diperuntukkan untuk pariwisata. Masyarakat Balipun sudah mulai terpinggirkan dan lama-kelamaan mungkin akan menjadi orang asing di daerah sendiri, sehingga Bali merupakan “sorga yang hilang”.
Berawal dari reformasi moral dan mental, kita berharap berbagai aturan dapat dilaksanakan secara konsisten. Selama ini, penyakit yang paling parah menggerogoti pariwisata Bali adalah ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan aturan atau perencanaan yang sudah dibuat. Terlalu banyak “kebijaksanaan” dan “perkecualian” yang diambil oleh pemerintah. Kita tahu dan sepakat, bahwa lahan pertanian yang subur hendaknya jangan dikonversi menjadi peruntukan pariwisata atau kegiatan non pertanian. Kenyataannya, ijin tetap dikeluarkan untuk mengkonversi lahan tersebut menjadi lapangan golf. Kita semua tahu, bahwa tinggi bangunan di Bali maksimal 15 meter atau lantai tiga. Tetapi kitapun tahu, ada hotel yang bertingkat di atas sepuluh, tetapi “dibijaksanai”, ketinggiannya diukur dari atas tebing.
Di samping itu, sungai, danau, dan laut banyak dijadikan tempat pembuangan limbah. Ini tentu sangat menyedihkan dan dalam jangka panjang dapat berakibat fatal terhadap perkembangan pariwisata. Kita tahu, tuntutan dunia luar terhadap produk yang ramah lingkungan (environmentally friendly) semakin ketat. Kesadaran untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan bumi yang lestari (green globe) semakin tinggi. Jangankan untuk produk pariwisata, produk pertanianpun yang dihasilkan dengan cara “:memperkosa” lingkungan tidak akan dibeli. Thailand pernah mengalaminya, hasil tambak udangnya yang mempunyai kualitas sangat bagus tidak laku diekspor karena diketahui bahwa pembudidayaan udang tersebut telah merusak lingkungan.
Untuk pulau kecil seperti Bali, masalah lingkungan ini harus mendapatkan perhatian yang sangat-sangat serius. Pembangunan berbagai fasilitas kepariwisataan pada daerah-daerah yang sensitif harus sangat dibatasi. Apalagi, seperti yang disampaikan pemerhati sekaligus praktisi pariwisata, Dra. Ida Ayu Agung Mas dari Sua Bali, dewasa ini perkembangan fisik pembangunan di pulau Bali sudah menyedihkan. Dari kepeduliannya bertahun-tahun terhadap perkembangan pariwisata, Agung Mas bahkan telah mengajak kita untuk “rethinking tourism”. Memikirkan kembali strategi pembangunan pariwisata kita selama ini. Pujaan dan pujian kita terhadap keberhasilan pembangunan pariwisata Bali mungkin perlu direfleksikan secara jernih, untuk berani mengatakan bahwa ada yang salah selama ini. Diantaranya, kelobaan kita untuk memperkosa lingkungan, termasuk memperkosa daerah aliran sungai, sampai ke ceruk-ceruk lembahnya. Pemerkosaan terhadap lingkungan sungai, bukan saja menyedihkan dari lingkungan fisik, melainkan juga dari aspek budaya. Lembah sungai di Bali sangat banyak menguntai butir-butir peninggalan budaya (situs purbakala), yang mencerminkan peradaban leluhur kita di masa lalu. Sungai, yang dulunya sempat menjadi pusat peradaban leluhur kita, akan tegakah kita obok-obok hanya untuk kepentingan sesaat?
Tanyakan pada orang Bali, apakah mereka mencintai tanaman dengan sepenuh hati? Pasti semuanya menjawab, “Ya, kenapa tidak?” Tanyai mereka, apa buktinya mereka mencintai tumbuh-tumbuhan sepenuh jiwa raga? Mereka dengan gampang menjawab, “Kami punya tradisi Tri Hita Karana, yang menempatkan alam dan manusia sesungguhnya satu, sama-sama ciptaan Tuhan”.
Orang Bali amat bangga dengan tradisi mereka yang memang sangat menghormati alam. Kendati tak banyak yang tahu bagaimana asal usul Tri Hita Karana, namun semua membanggakan falsafah itu. Kepada siapa saja mereka sering berkisah, alam Bali sangat elok, lestari, dikagumi semua wisatawan, karena masyarakatnya punya tradisi menghormati alam. Alam Bali dipuja, tanaman dan hewan menyatu dengan manusia. Fauna punya hari otonan yang disebut tumpek kandang. Bahkan besi punya tumpek landep. Uang pun dihormati punya otonan. Seluruh isi semesta punya hari lahir (otonan). Makrokosmos, semesta raya, merupakan ciptaan Tuhan, seperti juga manusia.
Pokoknya, kalau kita bicara soal tradisi dan falsafah alam dari masyarakat Bali, tak ada satu celah pun untuk mengatakan orang Bali tidak menghormati alam. Tapi jika ada yang bertanya, apakah orang Bali benar-benar menghormati alam dalam tindakan, tentu kita tak bisa segera menjawab, Ya kenapa tidak?” Banyak orang Bali yang menghormati alam hanya sebatas falsafah dan tradisi.
Tetapi, banyak data yang mengungkapkan betapa hutan Bali dalam keadaan sengsara. Namun, pihak kehutanan masih punya program membuat hutan buatan. Sayangnya, di Bali kita hanya punya falsafah menjaga keseimbangan alam, tapi tak punya falsafah yang mengharuskan orang-orang menanam pohon. Tri Hita Karana adalah falsafah menjaga keselarasan alam, tentang pengendalian mengurus alam, bukan falsafah tentang bagaimana semestinya menanam pohon.
Tentu keliru kalau kemudian kita mengkambinghitamkan falsafah luhur itu, jika Bali tak pernah mencapai porsi kawasan hutan ideal. Yang khilaf adalah manusia, yang selalu merasa bangga dengan kata-kata, tetapi miskin tindakan.
Di samping itu, masalah komersialisasi Bali adalah masalah sangat besar dan mendasar. Ia menyangkut bisnis milyaran dollar dalam setahun. Yang terbesar menikmati bisnis ini adalah kaum pedagang, bukan masyarakat Bali umumnya. Sudah sepantasnya orang-orang Bali membuat keseimbangan baru perihal filosofi seni untuk persembahan dan seni komersial. Mendengungkan terus-menerus filosofi seni untuk persembahan sungguh keliru, karena seniman merasa terikat pada sebuah peraturan yang sesungguhnya tak pernah ada. Sudah saatnya masyarakat Bali menghentikan caci-maki kepada seniman yang menjual karyanya dengan harga tinggi. Sering kali kita nelangsa mendengar penari diangkut truk pentas di hotel berbintang, namun pada saat yang sama kita mengkuliahi mereka bahwa berkesenian adalah yadnya, pengorbanan suci.
Semua orang paham, apalagi pelaku turisme, seniman Bali tak akan sanggup jual mahal, karena pada hakekatnya orang Bali bukan masyarakat yang komersial. Namun, kenapa dari hari ke hari selalu saja dunia mencemaskan Bali akan terjerembab ke lumpur komersialisasi? Pada hakekatnya, tanpa disadari, gaya hidup orang Bali telah menyuburkan praktek komersialisasi. Mereka tak pernah mengusir wisatawan, yang untuk itu membayar pada biro perjalanan, untuk menonton upacara adat. Mereka bahkan sangat senang kalau ditonton turis, karena menganggap itu sebuah bentuk, kekaguman. Mereka bisa terkenal ke seluruh dunia, karena foto-foto mereka dipajang di banyak majalah, atau dijadikan kartu pos bergambar.
Yang bersalah dalam komersialisasi Bali sesungguhnya adalah masyarakat Bali sendiri. Orang-orang Bali dengan sadar membiarkan, dan memberi peluang, praktek-praktek komersialisasi itu berlangsung setiap hari di depan mata.

Tidak ada komentar: