Minggu, 25 Mei 2008

Pariwisata Global

I. PENDAHULUAN

Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Sebagai fenomena modern, tonggal-tonggak bersejarah dalam pariwisata dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo (1254-1324) yang menjelajahi Eropa, sampai ke Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia, yang kemudian disusul perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), Cristopher Colombus (1451-1506), dan Vasco da Gama (akhir abad XV). Namun, sebagai kegiatan ekonomi, pariwisata baru berkembang pada awal Abad 19 dan sebagai industri internasional pariwisata dimulai tahun 1869 (Crick, 1989; Graburn dan Jafari, 1991).

Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona “eksport”, karena beberapa ciri positifnya. Dalam suasana di mana terjadi kelesuan perdagangan komuditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan trend-nya yang meningkat secara terus-menerus. Data perkembangan pariwisata dunia menunjukkan bahwa pada saat terjadinya krisis minyak tahun 1970-an, maupun pada saat terjadinya resesi dunia awal tahun 1980-an, pariwisata dunia tetap melaju, baik dilihat dari jumlah wisatawan internasional maupun penerimaan devisa dari sektor pariwisata ini.

Bagi Indonesia, jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali kepada dasawarsa awal Abad 20 (tepatnya 1910), yang ditandai dengan dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda, berkedudukan di Batavia. Badan pemerintah ini sekaligus juga bertindak sebagai tour operator dan travel agent, yang secara gencar mempromosikan Indonesia (khususnya Jawa, kemudian Bali). Pada tahun 1926 berdiri pula di Jakarta sebuah cabang dari Lislind (Lissonne Lindeman) yang pada 1928 berubah menjadi Nitour (Nederlandsche Indische Touriten Bureau), sebagai anak perusahaan dari perusahaan pelayaran Belanda (KPM). KPM secara rutin melayani pelayaran yang menghubungkan Batavia, Surabaya, Bali, dan Makasar, dengan mengangkut wisatawan (Spillane, 1989; Vickers, 1989).

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 pemerintah segera membentuk Honet (Hotel National and Tourism), sebuah badan yang diberikan tugas untuk menghidupkan kembali pariwisata, khususnya menangani perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 1955 berdiri Natour dan YTI (Yayasan Tourisme Indonesia). Dengan usaha yang keras, badan-badan ini berhasil mengangkat pariwisata Indonesia, sehingga sempat terjadi “demam pariwisata” beberapa tahun lamanya. Kongres I YTI, 12-14 Januari 1957 (disebut pula Munas Tourisme I) melahirkan Dewan Tourisme Indonesia (DTI). Istilah “pariwisata” sendiri lahir belakangan, yaitu pada waktu Munas Tourisme II di Tretes, Jatim 12-14 Juni 1958, di mana “pariwisata” diartikan sebagai international tourism, sedangkan untuk domestic tourism dipopulerkan istilah dharma wisata.

Perpindahan orang untuk sementara ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, serta aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya adalah bagian dari pariwisata.

Wisata menurut UU No. 9/1990 tentang kepariwisataan didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara, serta perjalanan itu sebagian atau seluruhnya bertujuan untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan pariwisata segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Seringkali, pariwisata hanya dilihat dalam bingkai ekonomi, padahal ia merupakan rangkaian dari kekuatan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya yang bersifat global. Memang, pariwisata harus bisa dijual. Namun, pariwisata dapat juga memberikan manfaat dan menyumbang, antara lain kepada :

1. Pelestarian budaya dan adat istiadat,

2. Peningkatan kecerdasan masyarakat,

3. Peningkatan kesehatan dan kesegaran,

4. Terjaganya sumber daya alam dan lingkungan lestari,

5. Terpeliharanya peninggalan kuno dan warisan masa lalu, dan lain-lain.

Harus diakui pula, kadang kala kegiatan pariwisata membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya. Tetapi dalam kegiatan pariwisata yang terkonsep baik dan tertata rapi, dampak “menjual” itu pun dapat diminimalisasi. Konkretnya, pariwisata tidak akan menjual hutan, melainkan keindahan hutannya. Ia tidak akan menjual binatang langka, tetapi ia akan menjual kelangkaan binatang itu, dan seterusnya.

II. PEMBAHASAN

Organisasi Internasional

Organisasi Pariwisata Internasional bermarkas di Spanyol. Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) dikenal sebagai organisasi pariwisata yang paling penting di dunia. Di antara banyak tugasnya, organisasi ini berfungsi sebagai konsultan bagi PBB. WTO mempromosikan pariwisata di seluruh dunia, khususnya pada negara-negara yang sedang membangun. WTO mengumpulkan informasi dan bahan-bahan yang dipublikasikan yang berhubungan dengan pola pariwisata dunia mutakhir, melakukan pendekatan pemasaran, dan juga pada kegiatan-kegiatan melindungi budaya dan sumber alam yang ada. Badan ini juga menyelenggarakan program pelatihan dan pendidikan. WTO juga berusaha memudahkan perjalanan internasional dengan berbagai cara : dengan mengurangi jumlah paspor dan visa yang dibutuhkan oleh negara-negara tertentu dan dengan menstandarkan tanda-tanda yang dipergunakan dalam kancah pariwisata internasional.

Sejumlah organisasi internasional menunjukkan keinginannya untuk membiayai pariwisata. Bank Dunia, di Washington, D.C., merupakan pendukung pembangunan pariwisata di negara-negara yang sedang membangun. Akan tetapi, sekarang ini jumlah dana yang dikucurkan untuk pembangunan pariwisata berkurang banyak.

Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) yang beranggotakan Australia, Belgia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Turki, Inggris, dan AS, dibentk pada tahun 1960 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara anggota.

Lewat komite pariwisatanya, OECD mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pariwisata dan membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota. Sebagai tambahan publikasi dan laporan tahunan di bidang pariwisata, organisasi ini juga mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan statistik pariwisata dan mendorong penggunaan definisi-definisi yang standar.

Perkembangan Pariwisata Dunia

Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Negara-negara dan teritori, seperti Thailand, Singapore, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Tonga, Galapagos, Barbados, Kepulauan Karibia, dan sebagainya, sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Bagi negara-negara di Kepulauan Karibia, pariwisata merupakan penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan negara. Di daerah Kepulauan Karibia, pariwisata telah menciptakan 2,5 juta kesempatan kerja atau sekitar 25% dari total kesempatan kerja pada tahun 2001 (Monsen, 2004). Pariwisata menyumbang US$ 9,2 milyard, atau 5,8% dari total GDP. Tahun 2011 pariwisata diprediksi akan menghasilkan penerimaan sekitar 18,7 milyard (Duval, 2004). Bagi Anguila, 83% dari total GDP-nya pada tahun 2003 berasal dari pengeluaran wisatawan, bagi Bahama, pengeluaran wisatawan merupakan 44% dari total GDP 2003, dan angka ini adalah 33% untuk Barbados, sementara GDP St. Lucia 64% berasal dari pengeluaran wisatawan (Duval, 2004). Bagi Fiji, sebuah negara pulau yang ada di Samudra Pasifik , pariwisata telah menjadi penghasil devisa kedua, hanya sedikit di bawah hasil utamanya, yaitu gula dan hasil pertanian lain. Pendapatan dari pariwisata pada tahun 1991 mencapai sekitar 35% dari total nilai ekspor negara ini. Bagi Tonga (juga di Samudra Pasifik), pariwisata menyumbang 70% dari total nilai ekspornya (Smith, 1996 : 43). Dengan pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, pariwisata sering disebut sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional development, invisible export, non-poluting industry, dan sebagainya (Pitana, 2002a).

Jumlah wisatawan internasional senantiasa meningkat secara berlanjut, sebagaimana dapat dilihat dari gambaran statistik sejak tahun 1950. Demikian juga nilai devisa yang dihasilkan. Data menunjukkan bahwa jumlah wisatawan internasional meningkat dari sekitar 25 juta orang pada tahun 1950, menjadi 476 juta pada 1992, dan pada tahun 2000 angka ini mencapai 698,8 juta orang. Jumlah wisatawan internasional selalu mengalami peningkatan sampai penghujung milenium , dengan peningkatan tertinggi terjadi tahun 2000 (9,7%). Meskipun memasuki milenium ketiga dunia diguncang berbagai bencana, seperti Tragedi WTC atau 9/11 tragedy di Amerika Serikat. (11 September 2001), Tragedi Kuta (Bom Bali, 12 Oktober 2002), merebaknya wabah SARS (Maret-Juni 2003), Perang Amerika-Irak (mulai April 2003), dan wabah flu burung (November 2003a), tingkat penurunan jumlah kunjungan tidak terlalu besar, yaitu hanya –0,5% tahun 2001, kemudian naik 2,7% tahun 2002, dan turun lagi –1,2% tahun 2003, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari segi absolut, jumlah wisatawan internasional, masih cukup tinggi, yaitu mencapai 694 juta orang tahun 2003, dengan penerimaan 514,4 milyard dollar Amerika, atau menurun 2,2% dibandingkan tahun 2002 (WTO, 2004). Untuk tahun 2004, WTO melihat adanya perkembangan positif. Meskipun menyadari masih adanya ketidakpastian menyangkut aktivitas terorisme, dalam World Tourism Barometer 2004, WTO menyebutkan :

As the economic framework improves, companies are relaxing their once tight travel budgets and business tourism is finally showing signs recovery….Convidence returned among travellers and the industry and tourism sector is heading for a robust rebound in 2004….” (WTO, 2004 : 4 ).

Optimisme ini didukung oleh menguatnya indikator pertumbuhan ekonomi. Mengutip laporan International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 4,6% tahun 2004 dan 4,4% tahun 2005, yang berada di atas angka pertumbuhan beberapa tahun terakhir (2,4% tahun 2001, 3,0% tahun 2002, dan 3,9% tahun 2003). Hal ini dikuatkan lagi dengan pulihnya ekonomi Amerika Serikat, Jepang, dan Cina.

Jumlah penerimaan pariwisata tahun 1950 diperkirakan hanya 2,1 M dolar AS, sedangkan pada tahun 1990 angka ini sudah mencapai 268,2 M dolar AS, dan pada tahun 2000 mencapai angka 475,8 M dolar AS. Pada tahun 1995, pariwisata menyumbangkan 10,9% dari pendapatan (GDP) dunia. Pada tahun 2001, industri pariwisata menciptakan GDP sebesar 3,3 triliun dolar AS, hampir 11% dari total GDP dunia. (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, pariwisata menghasilkan penerimaan mencapai 7,2 triliun dolar AS, atau 11,4% dari GDP dunia (WTTC, 1995; dalam Wahab, 1999). WTO memprediksi bahwa pariwisata akan terus mengalami perkembangan, dengan rata-rata pertumbuhan jumlah wisatawan internasional sekitar 4% per tahun sampai dengan tahun 2010. Sementara itu, wisatawan domestik diperkirakan mencapai jumlah sepuluh kali lipat dibandingkan wisatawan internasional, yang juga besar peranannya dalam pembangunan ekonomi daerah tujuan wisata.

Dari segi penyerapan tenaga kerja, WTO melukiskan bahwa satu dari delapan pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung, langsung ataupun tidak langsung, dari pariwisata. Pada tahun 1995, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja secara langsung untuk 211 juta orang. Pada tahun 2001, pariwisata telah menciptakan kesempatan kerja bagi 207 juta orang, atau lebih dari 8% kesempatan kerja di seluruh dunia (UNEP, 2002). Pada tahun 2005, diperkirakan pariwisata akan menciptakan lapangan kerja bagi 305 juta orang. Kalau mesin penggerak dalam penciptaan tenaga kerja pada Abad 19 adalah pertanian, dan pada Abad 20 adalah industri manufaktur, maka pada Abad 21, mesin penggerak tersebut adalah pariwisata (Dawid J. de Villiers, 1999; Salah Wahab, 1999). Pada tahun 2001, pariwisata menciptakan investasi sebesar 630 milyard dolar AS, atau sekitar 9% dari seluruh investasi dunia (UNEP, 2002).

Bagi Indonesia, peranan pariwisata semakin terasa, terutama setelah melemahnya peranan minyak dan gas, walaupun nilai nominalnya dalam dolar sedikit mengalami fluktuasi. Kunjungan wisatawan mancanegara menunjukkan trend naik dalam beberapa dasawarsa. Tahun 1969, Indonesia hanya dikunjungi oleh 86.067 wisman, kemudian meningkat menjadi 2.051.686 tahun 1990, dan 5.064.217 tahun 2000. Sejak tahun 1969 jumlah kunjungan wisman hanya mengalami pertumbuhan negatif sebanyak empat kali, yaitu tahun 1982, 1998, 1999, dan 2001. Kedatangan wisman tersebut telah memberikan penerimaan devisa yang sangat besar kepada Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dolar AS (Santosa, 2001).

Peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi sudah jelas dari angka-angka statistik yang dikemukan di atas. Tetapi pariwisata bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah sosial, budaya, politik, dan seterusnya. Pariwisata adalah suatu sistem yang multikompleks, dengan berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi antar sesama. Sebagai suatu aktivitas yang begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, pariwisata telah banyak menarik minat akademisi dari berbagai disiplin ilmu untuk mengkajinya. Jovicic (1977) bahkan mengusulkan agar kajian tentang pariwisata dikembangkan sebagai suatu disiplin tersendiri, yang disebut Tourismology. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa pariwisata sebagai suatu fenomena yang kompleks tidak dapat dipahami secara komprehensif dengan menggunakan berbagai perspektif disiplin keilmuan yang ada sekarang. Pengembangan Tourismology akan memberikan peluang yang lebih baik untuk mengkaji berbagai masalah kepariwisataan sebagai suatu composite phenomena. Leiper (1995) juga mendukung pengembangan pariwisata sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri dengan menyebut tourismology ini sebagai tourism discipline.

III. KESIMPULAN

Sesungguhnya, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona “eksport”, karena beberapa ciri positifnya. Dalam suasana di mana terjadi kelesuan perdagangan komuditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan trend-nya yang meningkat secara terus-menerus.

Sejumlah organisasi internasional menunjukkan keinginannya untuk membiayai pariwisata, seperti Bank Dunia, di Washington, D.C., merupakan pendukung pembangunan pariwisata di negara-negara yang sedang membangun dan organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD), yang lewat komite pariwisatanya, OECD mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan pariwisata dan membuat rekomendasi bagi negara-negara anggota. Sebagai tambahan publikasi dan laporan tahunan di bidang pariwisata, organisasi ini juga mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan statistik pariwisata dan mendorong penggunaan definisi-definisi yang standar.


DAFTAR PUSTAKA

Ardika, Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan (Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global). Unud–Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata.

Geria, I Wayan. 1989. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, dan Global. Denpasar : Upada Sastra.

Mill, Christie. 1990. Tourism The International Business (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Paeni, Mukhlis, dkk. 2006. Bali Bangkit Bali Kembali. Unud–Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Pitana, I Gede, dkk. 2000. Daya Dukung Bali Dalam Pariwisata (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya), Unud–Bappeda Propinsi Bali, Denpasar.

Pitana, I Gede. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi Offset.

Yoeti, Oka. 1989. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita.

Tidak ada komentar: